Sabtu, 14 Januari 2017

Ditjen EBTKE Siapkan Kebun Energi

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM,Rida Mulyana usai wawancara dengan
MigasReview diruang kerjanya di gedung EBTKE\(Fachry Latief/MigasReview.com)

MigasReview , Jakarta – Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan suatu program bernama ‘Kebun Energi’ untuk memasok biodiesel dan bioethanol dengan memanfaatkan tanah-tanah yang tak lagi produktif.
Program ini nantinya akan melibatkan banyak petani kecil di mana mereka tidak hanya menyiapkan di hulu, melainkan juga mempunyai saham di pabrik pengolahannya.  Berkaca dari kegagalan program energi tanaman jarak pagar, pengelolaan kebun ini energi nantinya dilakukan secara terintegrasi dan lintas kementerian dengan offtaker yang jelas.

Berikut penjelasan Direktur Jenderal EBTKE Rida Mulyana kepada MigasReview pekan lalu: Setelah pemerintah menerapkan program-program pengembangan energi baru terbarukan dengan minyak kelapa sawit, apa lagi yang disiapkan untuk mengembangkan biodiesel generasi kedua?
Sekarang kami sedang membuat program bernama ‘Kebun Energi’ yang terintergrasi, kebun yang khusus disiapkan untuk menanam pohon-pohon yang dijadikan energi. Kebun ini terutama memanfaatkan areal bekas lahan tambang dan lahan kritis yang banyak di Indonesia. Saya akan mengirim surat ke Gubernur Kalimantan Tengah untuk menyinergikan program ini. Di sana banyak lahan kritis dan lahan telantar sehingga saya akan meminta izin agar lahan tersebut ditanami untuk energi. Ini bukan surat yang pertama. Kemarin Gubernur Kalimantan Barat juga sudah saya kirimi surat.

Berapa luas Kebun Energi ini?

Target jangka pendeknya 7.000 hektare dan target jangka panjangnya 40.000 hektare. Di Pulau Sumba sudah kami buat percontohan di atas lahan seluas 100 hektare yang diintegrasikan. Kami menyediakan lahannya, cara menanamnya, bagaimana panennya, pengolahannya hingga penggunaannya. Kami regulasi industri bisnis agar saling terintergrasi. Bisnisnya macam apa, rangkaiannya macam apa yang dilalui, izinnya macam apa, kami garap itu.

Apa saja tanaman yang dikembangkan?

Di Pulau Sumba, kami menanam kaliandra yang biasa digunakan untuk wood pellet (pelet kayu) karena cepat tumbuh dan mudah dibakar. Korea dan Vietnam banyak mengimpor kaliandra dari kita karena lebih menguntungkan bagi para pengusaha di sana.
Apakah Kebun Energi melibatkan petani kecil?
Sekarang kita harus inklusif. Petani harus dilibatkan dari hulu sampai hilir. Petani tidak hanya menyiapkan di hulu melainkan juga mempunyai saham di pabrik pengolahannya. Dengan demikian, pabrik pengolahannya tidak akan berhenti akibat tidak ada suplai dari petani karena mereka sudah punya rasa memiliki pabrik tersebut melalui saham. Dengan demikian, akan terjadi keberlanjutan dari satu titik ke titik lainnya. Intinya harus jadi sesuatu yang terpadu dan pemiliknya sama. Kita bisa menghindari apa yang terjadi di Lampung di mana para petani menanam singkong untuk ethanol. Saat itu, PT Medco Ethanol Lampung melakukan kontrak jual beli dengan petani. Ketika harga ekspor singkong lebih tinggi daripada harga beli oleh Medco, petani lebih memilih ekspor singkong meskipun terikat kontrak. Petani tidak peduli dengan kontrak karena yang terpenting bisa ekspor.
Bagaimana caranya petani bisa mempunyai saham di pabrik?
Kemungkinannya seperti ini, pabrik memberikan keuntungan bagi perusahaan. Sebagian keuntungannya diberikan kepada petani dalam bentuk saham. Dividen dari saham petani digunakan untuk membeli saham lagi. Dengan ‘modal dengkul’ saja lama-lama petani punya saham di situ. Itu akan mengikat petani. Dengan demikian, mereka membutuhkan pabrik tersebut karena mempunyai kepemilikan di sana. Nah, Kebun Energi ini akan didesain seperti itu. Kami regulate yang punya kebun siapa dan yang punya pabrik siapa. Rangkaian ini harus diamankan dalam satu jalur. Pabik pengolahan nantinya menghasilkan limbah yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik tenaga biomassa. Petani juga punya saham di situ.

Apa langkah antisipasinya sehingga tidak terulang kegagalan seperti yang terjadi saat pengembangan jarak pagar dulu?

Kami belajar dari kelemahan pengembangan jarak pagar. Kesalahannya adalah tidak teritergrasinya dari hulu sampai hilir. Pengembangan di hulu digembar-gemborkan sampai ke masyarakat kecil namun offtaker atau siapa penampung dan siapa yang mengolahnya di hilir tidak disiapkan. Ke depannya akan seperti plasma inti. Siapa yang bertanggung jawab di hulu, penampungnya siapa, dan pengolahnya siapa.
Selain kelapa sawit, tanaman lain apa yang juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai biodiesel?
Kami tengah menjajaki kemiri sunan sebagai generasi kedua untuk mengembangkan biodiesel. Kemiri ini tidak bisa dikonsumsi. Karena cepat tumbuh dan bandel, di batu cadas pun dapat tumbuh maka dijuluki kemiri yang sakti seperti sunan. Kemiri sunan akan ditanam di lahan-lahan yang kritis. Nah, kemiri ini mampu menghasilkan biodiesel lebih tinggi daripada CPO.
Selain biodiesel untuk campuran Solar, apakah mandatori juga bisa diterapkan pada bensin?
Mandatori ini sebenarnya diberlakukan untuk keduanya, biodiesel ke Solar dan etahnol ke bensin. Hanya saja, kebijakan ini dimulai dengan melihat dahulu sumbernya. Kalau biodiesel, sumber awalnya sudah melimpah yaitu CPO. Namun Brasil sudah menerapkan E85, yang artinya 85 persen ethanol dan 15 persen bensin. Mereka punya sumber ethanolnya berupa tebu. Thailand punya sumber ethanol dari singkong sedangkan kita jago di CPO untuk biodiesel. Ke depan, kita juga akan masuk ke ethanol, tapi sekarang satu-satu dulu kita benahi.

Apa upaya kita untuk masuk ke bioethanol?

Kami mulai mendorong PTPN untuk mengembangkan hulu ethanolnya. Mereka akan mengembangkan ethanol full grade yang kelasnya untuk bahan bakar. Sumbernya berasal dari tebu. Kami juga mendorong Pertamina untuk bekerja sama dengan PTPN karena di Pertamina juga ada Direktur Energi Baru Terbarukan Yenny Handayani.  Semua ini akan kita kembangkan agar kita tidak ketergantungan pada impor BBM mengingat karena 60 persen BBM berasal dari impor.
Jika ethanol berkembang, istilahnya ‘dua tiga pulau terlampaui’. Indonesia kekurangan gula. Kalau kita kembangkan pabrik ethanol, pasti ada pabrik gula juga, dan akan ada pembangkit listriknya. Kita butuh lebih banyak lapangan kerja. Nantinya akan ada banyak lapangan pekerjaan yang tercipta. Ethanol akan menyelesaikan bukan hanya persoalan bahan bakar tapi juga masalah pangan.
Namun kewenangan ini bukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melainkan di Kementerian Pertanian. Kalau dulu koordinasi lebih sulit karena masing-masing punya visi misi dan target sendiri-sendiri, kalau sekarang, mereka lebih ‘cair’. (tyo raha)

1 komentar so far

Salam Hangat, selamat pagi.
Suka Main Poker Uang Asli Tetapi Kalah Terus?
Ayo Gabung Bersama Kami Di Wayangpoker
MENANG maupun KALAH Tetap mendapatkan Bonus Setiap Hari
Wayangpoker Situs terpercaya yang sudah lama berada diantara kita semua.
Minimal DEPOSIT CUKUP DENGAN Rp,20.000
Minimal WITHDRAW CUMA Rp.40.000
BBM : 2BE326CC
WWW.WAYANGPOKER.POKER


EmoticonEmoticon